• tes

    Berbagilah kepada sesama maka engkau akan bahagia

    Wednesday 29 April 2015

    “Strategi Urban Farming dalam Menghadapi Masalah Konversi Lahan di Gresik”



    BAB I
    PENDAHULUAN
    1.1.       Latar Belakang Masalah
    Negara Indonesia sebagai negara agraris, yang memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar tentunya sangat mengandalkan sektor pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang majemuk dan tersebar di beberapa daerah maupun pulau. Hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa secara langsung maupun tidak langsung, kebutuhan pangan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Namun dilihat dari sisi para petani di Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani tidak bisa hanya mengandalkan pada sektor pertanian saja. Mereka perlu peningkatan pendapatan dari sektor lain seperti usaha atau pekerjaan lain. Dikarenakan sebagian besar petani Indonesia dikategorikan sebagai petani gurem, yaitu yang tidak memiliki penguasaaan asset produksi minimal.
    Kenyataan yang pernah dialami negara Indonesia pada Tahun 1984, bahwa Indonesia yang telah mencapai swasembada beras bukanlah jaminan untuk terjadinya kesinambungan (sustainability) ketersediaannya di masa depan. Hal ini terbukti dengan adanya fakta yang terjadi pada tahun-tahun terakhir ini bahwa gangguan iklim dan perubahan orientasi pembangunan ekonomi di Indonesia menjadikan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras.
    Permasalahan ketahanan pangan merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu negara. Untuk itu, seluruh komponen bangsa baik itu pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama membangun ketahanan pangan nasional. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang meneyebutkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.[1] Selain itu upaya perwujudan ketahanan pangan itu sendiri juga telah menjadi komitmen nasional sebagaimana tercantum

    dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 yaitu : “Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi, baik jumlah maupun mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani atau nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang”.[2]
    Pemerintahan juga harus mampu menjalankan tugas beratnya yang menyangkut sektor pertanian di negara ini. Karena bukan hanya permasalahan ledakan jumlah penduduk dan permasalahan pembangunan saja yang perlu di tangani secara intens, namun seharusnya yang diutamakan yaitu pada sektor pertanian kita. Permasalahan pembangunan pertanian dengan berbagai peluang dan problemnya siap menghadang pekerjaan pemerintah. Seperti masalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang besar dan bernutrisi. Ini bisa menjadi permasalahan yang rumit jika tidak segera ditangani oleh pemerintah, karena akan menjadi akar yang memunculkan masalah baru.
    Fenomena ekspansi sektor industri inilah yang akan mendorong proses transformasi perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri. Dari sektor industri ini juga masyarakat khususnya petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Proses ini akan selalu terjadi sampai pada tingkat upah atau gaji sektor pertanian hampir sama dengan sektor indutri.
    Namun yang terjadi pada negara Indonesia yaitu semakin banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan pada adanya proteksi terhadap sektor industri. Pada tahun 1986-1997, sektor pertanian mengalami fase deskonstruksi yang amat memprihatinkan karena proteksi besar-besaran  terhadap sektor industri, serta proses konglomerasi yang terjadi dimana-mana telah memperlambat laju pertumbuhan pertanian. Sektor pertanian pada saat ini mengalami masa pengacuhan (ignorance) oleh para perumus kebijakan dan bahkan oleh para ekonom sendiri. Pemerintah menganggap swasembada pangan yang telah dicapai sejak tahun 1984 akan mengalami taken for granted pada masa ini. Sehingga

    proteksi terhadap sektor indutri diberikan, yang membawa dampak pada kinerja sektor indutri dan manufaktur tumbuh pesat diatas dua digit. Startegi industrialisasi yang dilakukan dengan mentransformasi Indonesia dari negara agraris menjadi negara industri dinilai berhasil oleh para perumus kebijakan waktu itu, namun tanpa disadari bahwa tindakan seperti demikian amat merugikan sektor pertanian dan juga meresahkan masyarakat.[3]
    Data yang dimiliki oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyatakan, potensi sumber pangan yang dimiliki Indonesia cukup banyak, yaitu 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, dan 110 jenis rempah. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya merupakan negara yang kaya akan biodiversitasnya.
    Ironisnya, dalam indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan 64 jauh di bawah Malaysia (33), China (38), Thailand (45), Vietnam (55) dan Filipina (63). Hal itu juga menggambarkan bahwa Indonesia justru mengalami permasalahan di sektor ketahanan pangan.
    Hal ini diprediksi akan terus memburuk dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Di masa depan diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa hal seperti kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar fosil, pemanasan iklim dan lain-lain. Belum lagi adanya
    Washington Consensus yang kini menjadi boomerang bagi Indonesia. Selama
    Indonesia masih berkiblat pada Konsensus Washington, selama itu juga Indonesia tidak bisa mandiri secara pangan.
    Menurut Herry Priyono, Konsensus Washington membuat Rakyat Indonesia tak leluasa bergerak dalam menentukan nasib produktivitas pertaniannya. Maka, tak heran jika ketahanan pangan Indonesia lemah. Tidak heran jika rakyat yang miskin di Indonesia malah semakin miskin dan akan ada banyak yang kehilangan pekerjaan.
    Akibat Konsensus Washington itu, liberalisasi pasar akan menguasai cara pasar Indonesia. Akibat Konsensus Washington, privatisasi beberapa perusahaan Negara diberlakukan sebagai jalan untuk mengatasi krisis Negara. Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya.
    Fenomena industrialisasi ini menyebabkan luas lahan pertanian produktif menjadi semakin sempit karena terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan industri, pembangunan pemukiman, infrastruktur jalan dan lain-lain. Dengan adanya proteksi terhadap sektor industri tersebut, menjadikan semakin banyaknya masyarakat petani yang lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan lebih memilih pada sektor industri. Jika kondisi tetap berlanjut seperti ini maka
    keadaan ketahanan pangan di Indonesia juga menjadi semakin kritis yang diakibatkan lahan sektor pertanian yang semakin sempit tadi.
    Lahan dapat diartikan bermacam-macam tergantung dari sudut pandang dan kepentingan akan lahan itu sendiri. Bagi petani lahan adalah tempat bercocok tanam untuk sumber kehidupan, sedangkan bagi penduduk kota lahan adalah ruang yang dapat dipakai untuk mendirikan rumah, toko dan lain-lain. Dalam permasalahan kali ini, dimana permintaan akan lahan yang semakin meningkat sedangkan ketersediaannya yang sangat terbatas menyebabkan pemerintah atau bahkan masyarakat merubah penggunaan fungsi lahan atau yang disebut konversi lahan. Konversi lahan disini sering diartikan dengan perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri, pemukiman, jalan tol dan infrastruktur lainnya.
    Konversi lahan dapat menjadi ancaman yang serius bagi ketahanan pangan di Indonesia karena dampak yang ditimbulkannya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi menjadi industri sangat kecil kemungkinan untuk berubah kembali menjadi lahan sawah. Substansi dari permasalahan konversi lahan ini bukan hanya terletak pada boleh atau tidaknya suatu lahan dikonversi, namun banyak menyangkut pada kesesuaian dengan konsep tata ruang yang ada di Indonesia. Semua penataan ruang baik itu lahan atau infrastruktur lain memiliki landasan hukum masing-masing yang telah diatur dalam Undang-undang maupun peraturan pemerintah.
    Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 yang mengatur  tentang penataan ruang di Indonesia, bahwasanya penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatang ruang. Penataan ruang ini menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat secara umum memilii hak untuk mendapat akses dalam proses perencanaan tata ruang tersebut. Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, tujuan penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
    1.             Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
    2.             Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
    3.             Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.[4]
    Berdasarkan ketentuan tersebut maka hak penguasaan penataan ruang diberikan kepada negara, termasuk didalamnya seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan penegelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki.[5]
    Konversi lahan atau perubahan fungsi lahan dapat terjadi karena adanya perubahan terhadap rencana tata ruang wilayah, adanya arah kebijaksanaan penataan ruang yang baru dan karena mengikuti arlur mekanisme pasar. Konversi lahan dari pertanian ke industri, perumahan dan atau jalan terjadi secara meluas sejalan dengan aspek kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi kepada investor. Terjadinya konversi lahan juga dapat dikarenakan tidak adanya insentif bagi seorang petani untuk dapat terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka para petani cenderung mengkonversi lahan sawahnya. Insentif ini dapat disebabkan oleh nilai tukar petani yang rendah.[6]
    Lahan pertanian dapat memberikan banyak manfaat bagi banyak segi kehidupan seperti ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun, akibat dari adanya konversi lahan ini sehingga menjadikan lahan yang tersedia semakin sempit dan berkurang dan tentunya akan memepengaruhi produktivitas dan kualitas pertanian di suatu wilayah. Jika permasalahan konversi lahan terus dilakukan dan tidak dapat dikendalikan maka ini tidak hanya menjadi permasalahan bagi petani di daerah saja, namun akan merambah pada permasalahan nasional bangsa Indonesia. Karena konversi lahan berhubungan dengan kesejahteraan petani yang menjadikan lahan sebagai sumber kehidupan mereka.
    Konversi lahan tersebut mungkin cenderung dapat meningkatkan pendapatan daerah, namun peningkatan tersebut tidak tersebar secara merata ke seluruh aspek kehidupan dan masyarakat. Jika kenaikan output dari konversi lahan pertanian tersebut tersebar secara merata sampai pada para petani yang terkena dampak konversi, maka perubahan penggunaan lahan ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi jika konversi lahan tidak disertai dengan adanya kebijakan perubahan atau transformasi pekerjaan para petani, dan kenaikan pendapatan daerah tidak disertai dengan pemerataan yang baik maka konversi lahan pertanian akan membawa dampak buruk dan menurunkan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi petani yang terkonversi lahannya.


    [1] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
    [2] Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 tentang Ketahanan pangan nasional
    [4] Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
    [5] Mulyadi. http://trindonesia.blogspot.com/2011/8/p/konsep-dasar-hukum-tata-ruang.html . Tata ruang Indonesia. Diakses 23 April 2015.
    [6] Ashari, Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah dan Dampaknya di Pulau Jawa, (Litbang Departemen Pertanian, 2003).

    No comments:

    Fans Page