BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Negara Indonesia sebagai negara
agraris, yang memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar tentunya
sangat mengandalkan sektor pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya yang majemuk dan tersebar di beberapa daerah maupun pulau. Hal
tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa secara langsung maupun tidak
langsung, kebutuhan pangan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan
keamanan. Namun dilihat dari sisi para petani di Indonesia yang menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan petani tidak bisa hanya mengandalkan pada sektor
pertanian saja. Mereka perlu peningkatan pendapatan dari sektor lain seperti
usaha atau pekerjaan lain. Dikarenakan sebagian besar petani Indonesia dikategorikan
sebagai petani gurem, yaitu yang tidak memiliki penguasaaan asset produksi
minimal.
Kenyataan yang pernah dialami
negara Indonesia pada Tahun 1984, bahwa Indonesia yang telah mencapai
swasembada beras bukanlah jaminan untuk terjadinya kesinambungan (sustainability) ketersediaannya di masa
depan. Hal ini terbukti dengan adanya fakta yang terjadi pada tahun-tahun
terakhir ini bahwa gangguan iklim dan perubahan orientasi pembangunan ekonomi
di Indonesia menjadikan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras.
Permasalahan ketahanan pangan
merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu negara. Untuk itu, seluruh
komponen bangsa baik itu pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama membangun
ketahanan pangan nasional. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang meneyebutkan bahwa pemerintah bersama
masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.[1]
Selain itu upaya perwujudan ketahanan pangan itu sendiri juga telah
menjadi komitmen nasional sebagaimana tercantum
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 yaitu
: “Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber
daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka menjamin tersedianya
pangan dan nutrisi, baik jumlah maupun mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga
yang terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani atau
nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang”.[2]
Pemerintahan juga harus mampu
menjalankan tugas beratnya yang menyangkut sektor pertanian di negara ini.
Karena bukan hanya permasalahan ledakan jumlah penduduk dan permasalahan
pembangunan saja yang perlu di tangani secara intens, namun seharusnya yang
diutamakan yaitu pada sektor pertanian kita. Permasalahan pembangunan pertanian
dengan berbagai peluang dan problemnya siap menghadang pekerjaan pemerintah.
Seperti masalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang besar dan bernutrisi. Ini
bisa menjadi permasalahan yang rumit jika tidak segera ditangani oleh
pemerintah, karena akan menjadi akar yang memunculkan masalah baru.
Fenomena ekspansi sektor industri
inilah yang akan mendorong proses transformasi perekonomian dari sektor
pertanian ke sektor industri. Dari sektor industri ini juga masyarakat
khususnya petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya.
Proses ini akan selalu terjadi sampai pada tingkat upah atau gaji sektor
pertanian hampir sama dengan sektor indutri.
Namun yang terjadi pada negara
Indonesia yaitu semakin banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih
mementingkan pada adanya proteksi terhadap sektor industri. Pada tahun
1986-1997, sektor pertanian mengalami fase deskonstruksi yang amat
memprihatinkan karena proteksi besar-besaran
terhadap sektor industri, serta proses konglomerasi yang terjadi
dimana-mana telah memperlambat laju pertumbuhan pertanian. Sektor pertanian
pada saat ini mengalami masa pengacuhan (ignorance) oleh para perumus kebijakan
dan bahkan oleh para ekonom sendiri. Pemerintah menganggap swasembada pangan yang
telah dicapai sejak tahun 1984 akan mengalami taken for granted pada masa ini.
Sehingga
proteksi terhadap sektor indutri diberikan, yang
membawa dampak pada kinerja sektor indutri dan manufaktur tumbuh pesat diatas
dua digit. Startegi industrialisasi yang dilakukan dengan mentransformasi
Indonesia dari negara agraris menjadi negara industri dinilai berhasil oleh
para perumus kebijakan waktu itu, namun tanpa disadari bahwa tindakan seperti
demikian amat merugikan sektor pertanian dan juga meresahkan masyarakat.[3]
Data yang dimiliki oleh Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyatakan, potensi sumber pangan yang
dimiliki Indonesia cukup banyak, yaitu 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis
kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, dan 110 jenis
rempah. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya merupakan negara yang
kaya akan biodiversitasnya.
Ironisnya, dalam indeks ketahanan
pangan Indonesia berada di urutan 64 jauh di bawah Malaysia (33), China (38),
Thailand (45), Vietnam (55) dan Filipina (63). Hal itu juga menggambarkan bahwa
Indonesia justru mengalami permasalahan di sektor ketahanan pangan.
Hal ini diprediksi akan terus
memburuk dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Di masa depan
diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa hal
seperti kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar
fosil, pemanasan iklim dan lain-lain. Belum lagi adanya
Washington Consensus yang kini menjadi boomerang bagi Indonesia. Selama Indonesia masih berkiblat pada Konsensus Washington, selama itu juga Indonesia tidak bisa mandiri secara pangan.
Washington Consensus yang kini menjadi boomerang bagi Indonesia. Selama Indonesia masih berkiblat pada Konsensus Washington, selama itu juga Indonesia tidak bisa mandiri secara pangan.
Menurut Herry Priyono, Konsensus
Washington membuat Rakyat Indonesia tak leluasa bergerak dalam menentukan nasib
produktivitas pertaniannya. Maka, tak heran jika ketahanan pangan Indonesia
lemah. Tidak heran jika rakyat yang miskin di Indonesia malah semakin miskin dan
akan ada banyak yang kehilangan pekerjaan.
Akibat Konsensus Washington itu, liberalisasi pasar akan menguasai cara pasar Indonesia. Akibat Konsensus Washington, privatisasi beberapa perusahaan Negara diberlakukan sebagai jalan untuk mengatasi krisis Negara. Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya.
Akibat Konsensus Washington itu, liberalisasi pasar akan menguasai cara pasar Indonesia. Akibat Konsensus Washington, privatisasi beberapa perusahaan Negara diberlakukan sebagai jalan untuk mengatasi krisis Negara. Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya.
Fenomena industrialisasi ini
menyebabkan luas lahan pertanian produktif menjadi semakin sempit karena
terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke lahan industri,
pembangunan pemukiman, infrastruktur jalan dan lain-lain. Dengan adanya
proteksi terhadap sektor industri tersebut, menjadikan semakin banyaknya
masyarakat petani yang lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaan sebagai
petani dan lebih memilih pada sektor industri. Jika kondisi tetap berlanjut
seperti ini maka
keadaan ketahanan pangan di Indonesia juga menjadi semakin kritis yang diakibatkan lahan sektor pertanian yang semakin sempit tadi.
keadaan ketahanan pangan di Indonesia juga menjadi semakin kritis yang diakibatkan lahan sektor pertanian yang semakin sempit tadi.
Lahan dapat diartikan
bermacam-macam tergantung dari sudut pandang dan kepentingan akan lahan itu
sendiri. Bagi petani lahan adalah tempat bercocok tanam untuk sumber kehidupan,
sedangkan bagi penduduk kota lahan adalah ruang yang dapat dipakai untuk
mendirikan rumah, toko dan lain-lain. Dalam permasalahan kali ini, dimana
permintaan akan lahan yang semakin meningkat sedangkan ketersediaannya yang
sangat terbatas menyebabkan pemerintah atau bahkan masyarakat merubah
penggunaan fungsi lahan atau yang disebut konversi lahan. Konversi lahan disini
sering diartikan dengan perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi
lahan industri, pemukiman, jalan tol dan infrastruktur lainnya.
Konversi lahan dapat menjadi
ancaman yang serius bagi ketahanan pangan di Indonesia karena dampak yang
ditimbulkannya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi menjadi
industri sangat kecil kemungkinan untuk berubah kembali menjadi lahan sawah.
Substansi dari permasalahan konversi lahan ini bukan hanya terletak pada boleh
atau tidaknya suatu lahan dikonversi, namun banyak menyangkut pada kesesuaian
dengan konsep tata ruang yang ada di Indonesia. Semua penataan ruang baik itu
lahan atau infrastruktur lain memiliki landasan hukum masing-masing yang telah
diatur dalam Undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 26
tahun 2007 yang mengatur tentang
penataan ruang di Indonesia, bahwasanya penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatang
ruang. Penataan ruang ini menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga
masyarakat secara umum memilii hak untuk mendapat akses dalam proses
perencanaan tata ruang tersebut. Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007
tentang penataan ruang, tujuan penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1.
Terwujudnya keharmonisan antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan;
2.
Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia;
3.
Terwujudnya perlindungan fungsi ruang
dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.[4]
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hak
penguasaan penataan ruang diberikan kepada negara, termasuk didalamnya seluruh
sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada negara untuk
menggunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Negara mempunyai
kewenangan untuk melakukan penegelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya
alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki.[5]
Konversi lahan atau perubahan fungsi
lahan dapat terjadi karena adanya perubahan terhadap rencana tata ruang
wilayah, adanya arah kebijaksanaan penataan ruang yang baru dan karena
mengikuti arlur mekanisme pasar. Konversi lahan dari pertanian ke industri,
perumahan dan atau jalan terjadi secara meluas sejalan dengan aspek
kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada aspek pertumbuhan melalui
kemudahan fasilitas investasi kepada investor. Terjadinya konversi lahan juga
dapat dikarenakan tidak adanya insentif bagi seorang petani untuk dapat terus
hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka para petani cenderung
mengkonversi lahan sawahnya. Insentif ini dapat disebabkan oleh nilai tukar
petani yang rendah.[6]
Lahan pertanian dapat memberikan banyak
manfaat bagi banyak segi kehidupan seperti ekonomi, sosial dan lingkungan.
Namun, akibat dari adanya konversi lahan ini sehingga menjadikan lahan yang
tersedia semakin sempit dan berkurang dan tentunya akan memepengaruhi produktivitas
dan kualitas pertanian di suatu wilayah. Jika permasalahan konversi lahan terus
dilakukan dan tidak dapat dikendalikan maka ini tidak hanya menjadi
permasalahan bagi petani di daerah saja, namun akan merambah pada permasalahan
nasional bangsa Indonesia. Karena konversi lahan berhubungan dengan
kesejahteraan petani yang menjadikan lahan sebagai sumber kehidupan mereka.
Konversi lahan tersebut mungkin
cenderung dapat meningkatkan pendapatan daerah, namun peningkatan tersebut
tidak tersebar secara merata ke seluruh aspek kehidupan dan masyarakat. Jika
kenaikan output dari konversi lahan pertanian tersebut tersebar secara merata
sampai pada para petani yang terkena dampak konversi, maka perubahan penggunaan
lahan ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi jika konversi lahan
tidak disertai dengan adanya kebijakan perubahan atau transformasi pekerjaan
para petani, dan kenaikan pendapatan daerah tidak disertai dengan pemerataan
yang baik maka konversi lahan pertanian akan membawa dampak buruk dan menurunkan
kesejahteraan masyarakat khususnya bagi petani yang terkonversi lahannya.
[1] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan
[2] Garis-Garis Besar Haluan Negara
tahun 1999-2004 tentang Ketahanan pangan nasional
[3] Bustanul Arifin “Formasi
Makro-Mikro Ekonomi Indonesia”
[4] Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
[5] Mulyadi. http://trindonesia.blogspot.com/2011/8/p/konsep-dasar-hukum-tata-ruang.html . Tata ruang Indonesia. Diakses
23 April 2015.
[6] Ashari, Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah dan Dampaknya di
Pulau Jawa, (Litbang Departemen Pertanian, 2003).
No comments:
Post a Comment