PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM PADA PERIODE KLASIK (Berkaitan Dengan Tokoh-Tokoh Yang
Pemikirannya Tentang Ekonomi Macro)
Posted Makalah By:
Ade Setiawan, S.H.I.[1][1]
PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran ekonomi yang berkembang saat ini
telah mengalami suatu proses yang panjang. Perkembangannya berlangsung
berabad-abad seiring dengan munculnya peradaban-peradaban yang ada di dunia.
Bahkan pemikiran tersebut mulai tampak sejak zaman batu, perunggu, dan besi.
Kemudian semakin berkembang sejak ditemukannya tulisan pada peradaban India
kuno, Mesir kuno, dan Babylonia. Sedangkan barat lebih cendrung pada peradaban
Yunani kuno yang kaya akan peninggalan dari kaum intelektualnya.
Salah satu corak perkembangan pemikiran ekonomi pada masa
lampau adalah kegiatan bisnisnya yang menggunakan sistim bunga. Para pakar
sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan bahwa kagiatan bisnis dengan sistem
bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum masehi, baik di Yunani kuno, Romawi
kuno, dan Mesir kuno.
Sementara itu, marak dan
berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong
dan mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam
klasik. Dikarenakan hasil pemikirian tentang ekonomi Islam oleh para ekonomi
Islam klasik tersebut merupakan pionir-pionir penting yang sukses melakukan
transformasi sistem ekonomi Islam ke dalam dunia modern.
Di antara sekian banyak pemikir masa lampau
yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang
paling menonjol. Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di
dunia. Ia bukan saja bapak sosiologi tetapi juga bapak ilmu Ekonomi, karena
banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya,
Ia lebih dari tiga Abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.
PEMBAHASAN
Pemikiran Ekonomi Adam Smith Pada Masa Klasik
Dalam buku the walht of nations, Smith berkomentar
pada instruksi kualitas rendah dan aktifitas intelektual yang berjumlah sedikit
dibandingkan dengan di Skotlandia.
Menurut Smith, yang membuat pertumbuhan ekonomi bisa
berjalan adalah proses mekanisasi dan pembagian kerja (Division of labor). Terjadinya revolusi industri di
Inggris membuat Smith menyaksikan segala konsekwensi dari peralihan teknologi.
Smith memulai analisisnya dengan (Division of labor) karena ia berharap menemukan dasar
transformasi yang tepat dari bentuk konkrit pekerja, yang memproduksi barang
tepat (berguna), kepada pekerja sebagai elemen sosial, yang menjadi sumber
kemakmuran dalam bentuk abstrak (nilai pertukaran).
(Divisions of
labor) dijadikan dasar oleh Smith karena meningkatkan produktifitas
pekerja. Setelah memberikan pengetahuannya mengenai perhitungan kualitas dan
konsekwensi, Smith memprose penyelidikan terhadap penyebabnya. Karena (Division
of labor) bergantung pada Propensity
to exchange, yang Smith hormati sebagai salah satu motif dasar dari human
conduct. Ada sesuatu kebingungan dalam satu point Smith mengenai hal
ini yaitu tentang sebab dan akibat. Mungkin suatu yang benar jika perdagangan
tidak dapat exist tanpa Division of
labor, ini tidak benar, paling tidak dalam teori, Division
of labor memerlukan existensi dari private
exchange.
Selain itu Smith sangat mendukung Laissez
Faire-Laissez Passer yang menghendaki seminimal mungkin campur tangan
pemerintah dalam perekonomian Negara. Prinsip Laissez Faire menjadi
dasar dari sistem ajaran yang menjadi pelabuhan bagi filsuf-filsuf luar negeri
yang membentuk suatu bagian esensial. Prinsip Laissez Faire, persaingan,
dan teori nilai pekerja adalah fitur berharga yang diajarkan dari sekolah
ekonomi beraliran klasik, yang secara esensial dibangun oleh Smith serta
Malthus, Ricardo, dan Mill. Prinsip Laissez Faire merupakan pondasi bagi
sistem ekonomi klasik.
Paham yang berawal dari pendapat Prancis Quesney (aliran
fisiokrat) menghendaki peran serta pemerintah yang minimal. Biarkan saja
perekonomian berjalan dengan sendirinya tanpa banyak diperbudak oleh
intervensi. Smith percaya akan adanya tangan tak kentara ( invisible hand ) yang
akan membawa perekonomian kearah yang setimbang. Sebaliknya, jika pasar terlalu
banyak diurusi, menurut Smith, justru akan mengalami distorsi yang berimplikasi
pada ketidak efisienan (Inefficiency) dan kesimbangan.
Ekonomi Islam Dan The Great Gap
Perbankan syari’ah sebagai salah satu instrument ekonomi
Islam yang telah terbukti mampu bertahan di tengah terpuruknya sistem perbankan
konvesional, terinplikasi pada semakin maraknya kajian-kajian ekonomi Islam
diberbagai tempat. Para akademisi, pengamat, maupun praktisi mulai bersemangat
menganalisis perbedaan perbankkan syari’ah dengan perbankan konvensional. Lebih
dari itu, mereka sudah merambah pada kajian intensif tentang fiqih muamalah dan
kajian yang lebih luas dari ilmu ekonomi Islam itu sendiri.
Sementara itu, dalam setiap pembahasan ilmu ekonomi,
sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, diyakini dimulai sejak tahun 1776.
waktu itu dimotori oleh Adam Smith, pemikir dari inggris dengan karya
monumentalnya, An Inquiry into The Wealth of Nations.[2][2] Sebelumnya sudah banyak
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan
mengenai persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh
masyarakat,maupun suatu Negara, namun belum dikemas secara sistematis.
Topik-topik yang dibahas masih terbatas dan belum ada analisis yang menyeluruh
mengenai berbagai aspek dari kegiatan perekonomian dalam suatu masyarakat.
Analisis yang masih terbatas tersebut menyebabkan pemikiran-pemikiran ekonomi
masih belum dipandang sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Sebagaimana telah dijelaskan di uraian sebelumnya, Adam
Smith memperkenalkan apa yang kini dikenal dengan sistem ekonomi liberalis
kapitalis. Sistem ini digagas oleh Adam Smith untuk menentang sistem ekonomi merkantilisme,
yang sangat menekankan campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian.[3][3] Adam Smith agaknya lebih menghendaki
kegiatan ekonomi itu dibiarkan bergerak sendiri, dengan hukum dan logikanya
sendiri. Pasarlah yang akan mengatur aktivitas ekonomi, menggerakkan dan
memekarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan mendatangkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih luas.
Akan tetapi, sistem ekonomi liberalis-kapitalis itu
ternyata berdampak negatif, yaitu pendapatan yang tidak merata, peningkatan
kemiskinian dan kesenjangan social yang makin melebar. Ekses itu timbul karena
pasar yang bekerja maksimal membuat persaingan menjadi tidak terhindarkan.
Akibatnya menyisakan ruang lapang bagi pengusaha kuat dan tentu saja, pengusaha
kecil tergilas turbin produktifitas dalam sistem ekonomi.
Kondisi ini menimbulkan kritik dikalangan ilmuan lainnya,
misalnya Karl Marx, menurutnya, sekalipun sistem liberal-kapitalis secara
relatif berhasil memajukan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi sistem itu telah
mengorbankan manusia: menggiringnya ke dalam rantai ketergantungan, perbudakan
ekonomi, dan ketersaingan bukan hanya dar produk dan kerja, melainkan dari
kehidupan itu sendiri.[4][4] Kritik Marx terhadap kapitalisme
agaknya lebih karena kecendrungan sistem kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai
moral kemanusiaan.
Dengan mengadopsi sekaligus merefisi ide Marx, Stalin,
pemimpin revolusi Rusia dipermulaan abad 20, membangun suatu monopoli
industrial yang dipimpin oleh suatu organisasi birokrasi yang mempergunakan
sentralisasi dan industrialisasi birokratis.[5][5] Dalam sistem sosialis, BNM NAGARA
mempunyai peran yang besar dalam melakukan aktivitas ekonomi. Melalui sistem
ini pula, masalah-masalah seperti kemiskinan, kesenjangan social, dan
distribusi pendapatan yang tidak merata diharapkan dapat di atasi.
Hanya saja, karena kompetisi di dalam sistem sosialis
adalah hal yang terlarang, tentu saja dorongan untuk berprestasi dan
meningkatkan produktivitas kerja menjadi menurun. Akibatnya, sistem sosialis
tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan baik. Fenomena satu dasawarsa
terakhir ini, Negara-negara eropa timur yang menerapkan sistem sosialis
ternyata mengalami kebangkrutan ekonomi dan mulai melirik sistem pasar bebas
sebagai landasan pembangunan ekonomi.
Kerapuhan sistem sosialis, terasa getarannya dalam sistem
liberan-kapitalis, yang dibuktikan dengan adanya krisis. Pada decade 30-an,
terjadi depresi ekonomi besar-besaran perekonomian menjadi lesu dan
pengangguran merajalela. Orang banyak beranggapan bahwa apa yang diramalkan
oleh Marx tentang pembusukan didalam sistem liberal-kapitalis akan segera
menjadi kenyataan. Kedua aliran pemikiran tersebut ternyata mengggiring pada
suatu kutub extrimitas. Yang satu aktivitas ekonomi benar-benar diserahkan pada
tindakan individu dan yang lain amat ditentukan oleh kekuasaan pemerintah.
Keadaan tersebut segera dapat diselamatkan oleh Jhon
Maynard Keynes. Menurutnya, perekonomian sepenuhnya tidak harus diserahkan
kepada mekanisme pasar, tetapi dalam batas-batas tertentu, campur tangan Negara
justru amat diperlukan. intervensi Negara menjadi suatu keniscayaan terutama
mendorong perekonomian kembali pada posisi keseimbangan.[6][6]
Keynes sangat berbeda dengan Smith. Pandangan Keynest di atas merupakan sebuah
revolusi dalam pemikiran ekonomi liberal-kapitalis yang berkembang sejak Adam
Smith.
Perdebatan di seputar masalah ekonomi tersebut, mendorong
kita untuk menelaah kembali kesejarahan Islam klasik. Saat itu, tradisi dan
peraktek ekonomi maupun perdagangan dengan landasan syari’ah telah
diperaktikkan oleh Rasulullah SAW, bahkan lebih luas dari itu. Beliau yang
hidup ditengah masyarakat Arab kuno telah menanamkan prinsip-prinsip etika
ekonomi dan perdagangan yang bertumpu pada syari’ah. Praktek ekonomi maupun
perdagangan masyarakat Arab saat itu tidak hanya mengenal barter, tetapi sistem
jual beli telah berlaku, mata uang Persia dan Romawi juga telah dikenal luas
oleh masyarakat dan telah menjadi sarana pertukaran yang efektif.[7][7] Bahkan tukar-menukar valuta asing
atau “Sharf”, demikian pula anjak piutang dan pembayaran tidak tunai
telah dikenal untuk perdagangan antar Negara. Sebuah lembaga pengumpul dan
pendistribusi dana masyarakat telah dilakukan oleh “Bait al mal” yakni
sebuah lembaga yang menggantikan lembaga peninggalan raja-raja kuno yang dipergunakan
untuk menarik upeti dari rakyat.
Peraktek riba dan bunga serta perdagangan illegal seperti
monopoli dan penimbunan telah mendapat perhatian Rasulullah SAW, dan
digantikannya dengan sistem perdagangan yang menjunjung keadilan, kejujuran,
dan pertanggung jawaban sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.[8][8]
Ini adalah sebuah revolusi besar terhadap sistem ekonomi yang dilakukan beliau.
Satu hal yang berkaitan dengan masalah yang diperdebatkan
di atas, penentuan harga diserahkan pada mekanisme pasar yaitu diletakkan pada
kekuatan penawaran dan permintaan itu sendiri, seperti terungakap dari sebuah
hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, bahwa suatu
ketika terjadi kenaikan harga-harga barang dikota Madinah, beberapa sahabat
menghadap Nabi SAW, mengadukan masalah itu dan meminta beliau agar mematok
harga-harga barang dipasaran. Rasulullah Saw menjawab ; Sesungguhnya Allah
yang menetapkan harga, yang menahan, dan melepaskan, dan mengatur rezeki. Dan
aku mengaharapkan agar saat berjumpa Allah dalam keadaan tidak ada seorangpun
diantara kalian yang menggugatku karena kezaliman dalam soal jiwa dan harta”.[9][9]
Meski demikian pada kasus lain dimana ada ketidak-adilan
dan unsur penipuan terjadi dalam aktifitas bisnis masyarakat, Rasulullah SAW,
tetap melakukan campur tangan, dalam hal ini turut mengendalikan dan mengontrol
harga, menyeimbangkan permintaan dan penawaran.
Pada masa selanjutnya, tradisi dan peraktik ekonomi Islam
terus dikembangkan. Misalnya, Abu Bakar telah menggunakan asas pemerataan dalam
distribusi harta Negara, kebijakan ini berbeda dengan Umar bin Khattab yang
menggunakan sistem distribusi dengan asas pengistimewaan pada orang-orang
tertentu seperti Assabilqunal awwalun, keluarga Nabi, dan para pejuang
perang mereka mendapat perioritas pertama.[10][10]
Sumber penerimaan Negara berasal dari zakat, jizyah, Kharaj, Ghanimah, dan
Fai’, dan masa umar telah dikembangkan lebih luas seperti adanya “ushr”
dari pajak perdagangan antara Negara Muslim dengan Negara asing lainnya.[11][11] Diversifikasi dalam bernagai sumber
pemasuka Negara saat itu membuat kas Negara menempati posisi surfplus.
Pasca Khulafa Rasyidin dan seiring dengan pergantian
sistem pemerintah Islam yang berkembang kearah dinasti Islam dalam suatu
organisasi pemerintahan yang kuat, telah muncul tokoh-tokoh pemikir muslim,
yang dapat dikata gorikan sebagai fuquha’ para filosof dan sufi dengan berbagai
karya ilmiahnya termasuk pemikiran tentang ekonomi.
Mengikuti kronologi sejarah pemikiran ekonomi Islam yang
dikemukakan Nejatullah Siddiqi[12][12], didapati bahwa sejarah pemikiran
ekonomi Muslim dikelompokan dalam tiga periode, dan terfokus pada tokoh-tokoh
utama saja. Pertama, sampai 450 hijriah, meliputi para penemu dan
pendiri dalam bidang hukum (fuqaha), diantara mereka yang menulis karyanya
dalam bidang ekonomi adalah “Abu Yusuf (182/798); Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani (189/804); Abu Ubaid (224/838); Yahya Bin Umar (289/902); Mawardi
(450/1058); Ibnu Hazm (456/1064). Kedua, 400 tahun berikutnya, meliputi
tokoh intelektual terkenal seperti Al-Ghazali (451-505/1055-1111); Ibnu
Taimiyah (661-728/1263-1328); Ibnu Khaldun (732-808/1332-1404). Ketiga,
500 tahun terakhir antara lain Shah Waliullah (1114-1176/1703-1762), Muhammad
bin Abdul Wahab (1206/1787); Muhammad Abduh (1230/1905); Muhammad Iqbal
(1356/1932) dan beberapa pemikiran lain.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun
a. Mekanisme Pasar :
Ibnu Khaldun secara khusus memberikan ulasan tentang
harga dalam bukunya al-Muqaddimah pada suatu bab berjudul ”Harga-harga
di Kota”. Ia membagi jenis barang menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan
pokok dan barang pelengkap.[13][13]
Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya
bertambah banyak, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi
prioritas.[14][14] Jadi suatu harga ditentukan oleh
jumlah distribusi ataupun penawaran suatu daerah, dikarenakan jumlah penduduk
suatu kota besar yang padat dan memiliki jumlah persediaan barang pokok yang
melebihi kebutuhan dan kemudian memiliki tingkat penawaran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kota kecil yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih
sedikit. Yang kemudian akan berdampak pada harga yang relatif lebih murah.
Sedangkan permintaan pada bahan-bahan pelengkap akan
meningkat sejalan dengan berkembangnya suatu kota dan berubahnya gaya hidup,
dikarenakan segala kebutuhan pokok dengan mudah mereka dapati dan seiring
dengan bertambahnya kebutuhan lain, maka tingkat permintaan pada bahan
pelengkap akan naik, walaupun dengan tingkat harga yang relatif mahal dan
jumlah barang yang relatif sedikit, dikarenakan terdapat banyak jumlah orang
kaya disana, maka mereka pun sanggup membayar dengan tingkat permintaan yang
tinggi yang kemudian akan berdampak pada naiknya harga tersebut.
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik
dan turunnya penawaran terhadap harga. Ketika barang-barang yang tersedia
sedikit, harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk
melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan
barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun.[15][15]
Jadi kemudahan dalam hal pendistribusian akan berpengaruh pada kestabilan
harga.
Dalam hal ini, pengaruh permintaan dan penawaran terhadap
penentuan harga tidak begitu baik dipahami di dunia barat sampai akhir abad
ke-19 dan 20. Para ekonom Inggris pra-klasik dan bahkan pendiri aliran klasik,
Adam Smith, secara umum hanya menekankan pada peranan biaya produksi, khususnya
peranan pekerja buruh dalam penentuan harga.[16][16]
Istilah permintaan dan penawaran dalam literatur bahasa
Inggris pertama kali digunakan sekitar tahun 1767, meski demikian pengaruh
permintaan dan penawaran dalam penentuan harga di pasar baru dikenal pada
dekade kedua di abad ke-19. Padahal Ibnu Khaldu telah menemukan pengaruh
permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga. Ia mengemukakan bahwa dalam
keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan atau penurunan harga
semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan.[17][17]
b. Pembagian Kerja
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa apabila pekerjaan
dibagi-bagi di antara masyarakat berdasarkan spesialisasi, menurutnya akan
menghasilkan output yang lebih besar. Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun ini
berimplikasi pada peningkatan hasil produksi.
Dan sebagaimana teori division of labor nya Adam
Smith (1729-1790), pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, dimana orang
akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya
masing-masing, hal ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pada
akhirnya akan meningkatkan hasil produksi secara total.[18][18]
c. Keuangan Publik
Berkenaan dengan keuangan publik dalam hal ini pajak,
yang berfungsi sebagai sumber utama pemasukan negara, haruslah dikelola dengan
sebaik mungkin, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal, yang nantinya
dapat digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun, keberadaan
departemen perpajakan sangat penting bagi kekuasaan raja (pemerintah). Jabatan
ini berkaitan dengan operasi pajak dan memelihara hak-hak negara dalam masalah
pendapatan dan pengeluaran negara.
Ibnu Khaldun berpendapat dalam hal pajak, haruslah
berdasarkan pemerataan, kenetralan, kemudahan, dan produktivitas.
d. Standar Kekayaan
Negara :
Menurut Ibnu Khaldun, kekayaan suatu negara tidak
ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi kekayaan suatu negara
ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif
dari negara tersebut.[19][19] Dengan demikian, negara yang makmur
adalah negara yang mampu memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan,
sehingga kelebihan hasil produksi tersebut diekspor, dan pada akhirnya akan
menambah kemakmuran di negara tersebut.
Berikut merupakan konsep ekonomi menurut Ibnu Khaldun sebagai
indikator dari kekayaan suatu negara,
1) Tingkat Produk
Domestik Bruto
Bila suatu negara mencetak uang dengan
sebanyak-banyaknya, itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan
sektor produksi (baik barang maupun jasa). Maka uang yang melimpah itu tidak
ada artinya, yang membuat jumlah uang lebih banyak dibanding jumlah
ketersediaan barang dan jasa.
2) Neraca Pembayaran
Positif
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang
positif akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran yang positif menggambarkan dua hal:
a) Tingkat produksi
yang tinggi.
Jika tingkat produksi suatu negara tinggi dan melebihi
dari jumlah permintaan domestik negara tersebut, atau supply lebih besar
dibanding demand. Maka memungkinkan negara tersebut melakukan kegiatan
ekspor.
b) Tingkat efisiensi
yang tinggi
Bila tingkat efisiensi suatu negara lebih tinggi
dibanding negara lain, maka dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi maka
komoditi suatu negara mampu masuk ke negara lain dengan harga yang lebih
kompetitif.
e. Perdagangan
Internasional :
Teori Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja (division
of labor) merupakan embrio dari teori perdagangan internasional yang
berkembang pesat pada era Merkantilisme di abad ke-17. Hal itu disadari
analisisnya tentang pertukaran atau perdagangan diantara negara-negara miskin
dan negara kaya yang menimbulkan kecenderungan suatu negara untuk mengimpor
ataupun menekspor dari negara lain. Bagi penganut paham merkantilisme,
sumber kekayaan negara adalah dari perdagangan luar negeri, dan uang sebagai
hasil surplus perdagangan adalah sumber kekuasaan.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa melalui perdagangan luar
negeri, kepuasan masyarakat, keuntungan pedagang dan kekayaan negara semuanya
meningkat. Dan barang-barang dagangan menjadi lebih bernilai ketika para
pedagang membawanya dari suatu negara ke negara lain. Perdagangan luar negeri
ini dapat menyumbang secara positif
kepada tingkat pendapatan negara lain.
Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara
positif kepada tingkat pendapatan negara, tingkat pertumbuhan serta tingkat
kemakmuran. Jika barang-barang luar negeri memiliki kualitas yang lebih baik
dari dalam negeri, ini akan memicu impor. Pada saat yang sama produsen dalam
negeri harus berhadapan dengan produk berkualitas tinggi dan kompetitif
sehingga mereka harus berusaha untuk meningkatkan produksi mereka.
f. Konsep Uang :
Ibnu Khaldun secara jelas mengemukakan bahwa emas dan
perak selain berfungsi sebagai uang juga digunakan sebagai medium pertukaran
dan alat pengukur nilai sesuatu. Juga pula uang itu tidak harus mengandung emas
dan perak, hanya saja emas dan perak dijadikan standar nilai uang, sementara
pemerintah menetapkan harganya secara konsisten. Oleh karena itu Ibnu Khaldun menyarankan
agar harga emas dan perak itu konstan meskipun harga-harga lain berfluktuasi.
Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun di atas, sebenarnya
standar mata uang yang ia sarankan masih merupakan standar emas hanya saja
standar emas dengan sistem the gold bullion
standard, yaitu ketika logam emas bukan merupakan alat tukar namun otoritas
moneter menjadikan logam tersebut sebagai parameter dalam menentukan nilai
tukar uang yang beredar. Koin emas tidak lagi secara langsung dipakai sebagai
mata uang. Dalam sistem ini, diperlukan suatu kesetaraan antara uang kertas
yang beredar dengan jumlah emas yang disimpan sebagai back up. Setiap
orang bebas memperjualbelikan emas, tetapi pemerintah menetapkan harga emas.
Mengenai nilai tukar mata uang, Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang beredar
di negara tersebut, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran yang
positif. Ia menyatakan bahwa nilai uang di suatu negara merefleksikan kemampuan
produksi dari negara tersebut. sehingga bila kemampuan produksinya menurun,
maka nilai uangnya akan menurun, dan harga secara berkesinambungan akan
meningkat, dan pada kondisi ini inflasi terjadi. Karena itu, dalam perdagangan
internasional, nilai tukar uang antar negara sebenarnya tergantung pada
kemampuan masing-masing negara memperoleh neraca pembayaran positif.
KESIMPULAN
Dari uaraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal di antaranya sebagai berikut:
1. Pada dasarnya
Salah satu corak perkembangan pemikiran ekonomi pada masa lampau adalah
kegiatan bisnisnya yang menggunakan sistim bunga. Para pakar sejarah pemikiran
ekonomi menyimpulkan bahwa kagiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak
tahun 2500 sebelum masehi, baik di Yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir kuno.
2. Jauh sebelum
kedatangan Islam, Bangsa Arab telah terkenal dengan kehidupan perniagaannya
dimana pada saat itu dalam melakukan perniagaan Bangsa Arab menerapkan sistem
riba. Dan setelah dating masa pemerintahan Rasulullah saw maka sistem ribawi
tersebut dihapuskan secara totalitas, selain itu ada beberapa kebijakan yang
ditetapkan Rasulullah saw baik yang bersifat fiskal seperti pendirian Baitul
Mal dan menerapkan sistem ekonomi secara bagi hasil atau yang biasa dikenal dengan
mudharabah, muzara’ah dan musaqah.
Fokus pemikiran yang terjadi pada masa klasik baik menurut Adam Smith, dan
Ibnu Khaldun mengenai harga, mereka berpendapat harga pasar dalam keadaan
normal ditentukan oleh pasar itu sendiri atau oleh kekuatan penawaran dan
permintaan sehingga Negara tidak diharapkan melakukan intervensi. Sebagaimana
sejarah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
No comments:
Post a Comment