PENDAHULUAN
I. Latar
Belakang Penelitian
Penduduk Indonesia
diperkirakan akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025. Menurut survei
yang dilakukan, pada tahun yang sama angka harapan hidup diperkirakan mencapai
73,7 tahun, suatu peningkatan yang cukup tinggi dari angka 69,0 tahun pada saat
ini. Selain itu, dalam periode 20 tahun yang akan datang, Indonesia
diperkirakan dapat menekan angka kelahiran total (Total Fertility Rate – TFR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate – IMR) serta meningkatkan proporsi
penduduk usia lanjut. Data estimasi menunjukkan bahwa proporsi penduduk lansia
(65 tahun ke atas) akan meningkat dari 5,0% saat ini menjadi 8,5% di tahun
2025. (BAPPENAS, 2005). Terjadinya peningkatan lansia ini berdampak pada
peningkatan masalah kesehatan, sehingga kebutuhan akan pelayanan kesehatan pun
meningkat.
Penuaan adalah proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya. Penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan
fisiologis yang dapat terlihat dari berubahnya komposisi tubuh pada usia 40
tahun (Harman JR, 1990). Pada
lansia, komposisi yang terdapat didalam tubuh berubah sehingga berpengaruh
terhadap fungsi dari fisiologis. Perubahan fungsi fisiologis
mengakibatkan menurunnya fungsi sistem pencernaan, kardiovaskular, pernapasan,
saraf, sistem endokrin, fungsi ginjal, dan lainnya. Selain itu perubahan juga
terjadi dalam beberapa proses pada tubuh meliputi absorbsi, distribusi,
metabolisme, eskresi, dan respon tubuh terhadap intake obat. Dimana
proses tersebut merupakan penurunan dari fungsi patofisiologi dan dapat
mempengaruhi farmakokinetika dari suatu obat. Seiring dengan proses menua
tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan (Harman JR, 1990).
Seiring dengan adanya perubahan fisiologis yang
berkaitan dengan usia, muncul peningkatan terjadinya penyakit kronis dan
komorbid. Berdasarkan penelitian di Irlandia, dari 86% lansia mengalami 2 atau
lebih komorbid. Pada lansia, terapi dengan obat yang didapatkan dalam jumlah banyak dengan regimen yang beragam.
Dari penelitian yang sama, rata-rata pasien lansia hanya menggunakan 30-50%
obat yang terdapat pada resep (Stegemann et
al, 2010). Oleh karena itu terapi obat pada lansia memberikan tantangan
yang lebih dan kompleks dibandingkan dengan usia muda. Sehingga kelompok lansia
ini membutuhkan perhatian khusus terkait dengan penggunaan obat.
Lansia sendiri dibagi menjadi 3 kelompok, “early-old” usia antara 65-74 tahun, “middle-old” usia antara 75-84 tahun and
“late-old” <85 tahun (Hajjar et
al., 2007). Berdasarkan pada Perda Propinsi Jatim No 5 Tahun 2007 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia. Terdapat 3 kelompok lansia, yaitu (1). Lansia
Potensial; (2).Lansia Tidak Potensial; dan (3).Lansia Terlantar (Perda Propinsi
Jatim No 5 Tahun 2007). Lansia terlantar yang perlu diperhatikan secara baik,
karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dari survei yang dilakukan di US oleh Kaufman et al,
ditemukan bahwa jumlah obat yang diresepkan pada orang dengan usia >65 tahun
adalah 2-9, dengan laporan yang menunjukkan bahwa 57% dari wanita 65 tahun dan
yang lebih tua mengambil ≥5 resep obat dan 12% mengambil ≥10 obat yang
diresepkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah obat yang diresepkan
meningkat dengan adanya peningkatan usia (Hajjar et al., 2007).
Pada lansia, terdapat potensi meningkatnya drug-related problem (DRP) misalnya masalah reaksi efek
samping, interaksi obat, ataupun reaksi toksik (Yuda et al,
2014). Drug-related problem dapat
ditimbulkan dari beberapa hal, salah satunya adalah ketidakpatuhan.
Ketidakpatuhan minum obat telah diidentifikasi oleh World Health Organization
(WHO) sebagai masalah global yang berkembang di negara-negara berkembang daripada
di negara-negara maju (Stegemann et al,
2010). Faktor yang meningkatkan risiko pasien lansia mengalami DRP adalah perubahan komposisi tubuh,
polifarmasi, dan ketidakpatuhan terhadap regimentasi pengobatan Menurunnya
kemampuan mendengar, melihat, dan mengingat pada lansia juga berperan dalam
terjadinya DRP, terutama pada pasien
yang mendapatkan jumlah terapi obat yang banyak dengan regimentasi dosis yang
bermacam-macam. Berdasarkan penelitian oleh Medication Appropriatness Index
(MAI) pemberian obat dalam jumlah banyak terjadi masalah duplikasi (7%),
interaksi (18%), dan tidak tepat indikasi (32%) dari 834 lansia (Hajjar et al., 2007). Keadaan menurunnya kemampuan secara fisik yang dialami
lansia dalam penggunaan obat secara benar seperti mudah bingung, gangguan
keseimbangan dan gerak, serta menurunnya vitalitas tubuh (Yuda et al, 2014). Ketidakpatuhan dan
kepatuhan dipengaruhi oleh interaksi nilai yang diyakini oleh seorang lansia,
pengetahuan lansia, dan pengalaman hidup lansia, dukungan keluarga, kemampuan
tenaga profesional dalam mengajarkan dan menganjurkan sesuatu, serta
kompleksitas cara dan aturan hidup yang diterapkan oleh lansia yang berhubungan
dengan konsep diri lansia (Zulfitri, 2011). Ketidak tepatan indikasi obat,
kesalahan dalam penyerahan, kesalahan dalam administrasi, kesalahan dalam resep
baik dalam penggunaan yang berlebih atau tidak dan penggunaan yang salah dapat
berpengaruh pada lansia yang memiliki terapi polifarmasi (Gupta and Monika, 2013).
Apoteker sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi,
menganalisa, dan menyelesaikan masalah DRP
pada lansia. Apoteker adalah tenaga profesional yang turut bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan terutama dalam hal penyediaan
obat-obatan dan penggunaannya. Sesuai dengan prinsip Pharmaceutical care, tanggung jawab tersebut dimaksudkan untuk
memastikan penggunaan obat oleh masyarakat tepat indikasi, efektif dan aman.
Dengan kompleksnya masalah penggunaan obat pada lansia, berbagai upaya diperlukan
untuk dapat menjamin keefektifan dan keamanan penggunaan obat.
Lansia yang hidup sendiri ditemukan menjadi lebih
rentan terhadap kesalahan pengobatan. Dari review penelitian mengungkapkan
bahwa hal tersebut diakibatkan tidak adanya orang lain untuk memantau,
membantu, atau mengingatkan lansia tersebut mengkonsumsi obat (Marek and Antle,
2008). Gangguan konsep diri yang terjadi pada lansia cenderung akibat penurunan
kondisi fisik yang dialaminya dan keterbatasan dukungan sosial khususnya dari
pihak keluarga (Zulfitri, 2011). Lansia sulit untuk mengingat obat yang telah
digunakan baik yang diresepkan atau swamedikasi, kemungkinan untuk terjadinya
obat dengan indikasi yang sama namun berbeda, atau obat yang dapat
berinteraksi, sehingga dibutuhkan tenaga kesehatan yang dapat memantau (Marek
and Antle, 2008).
Sistem pelayanan kesehatan yang baik sangat dibutuhkan
untuk dapat membantu mengatasi masalah kesehatan yang dialami lansia. Lansia
dijamin kesejahteraannya, salah satu aspeknya mengenai pelayanan kesehatan,
diharapkan angka usia harapan hidup dan masa produktifnya meningkat. Tempat
lansia yang termasuk dalam kategori terlantar adalah di Panti Werda. Lansia
yang berada di Panti Werda yang mengalami keluhan atau gejala sakit dapat
ditangani oleh tenaga kesehatan baik yang berada disana atau tenaga kesahatan
yang dari luar. Hal ini perlu diawasi oleh tenaga kesehatan yang ada,
dikahawatirkan lansia mengalami kesalahan yang dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan, misalnya adalah kesalahan dalam resep yaitu kurangnya informasi,
obat yang tidak perlu, kesalahan dosis, kelalaian. Ketika proses pemberian obat
pun dapat terjadi kesalahan yang diakibatkan kelalaian dari tenaga kesehatan.
Kekeliruan dalam pemberian etiket pun dapat dilakukan sehingga menyebabkan ketidak
sesuaian, berakibat pada kesalahan dalam penggunaan obat (Barber et al, 2009).
Penelitian ini dilakukan di Panti Werda yang berada di
Surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat profil pengelolaan
obat lansia di Panti Werda yang masih belum ada penelitian terkait hal tersebut
di Indonesia. Pentingnya pengelolaan obat agar lansia yang mengkonsumsi obat
dapat memperoleh manfaat dari obat yang digunakan. Aspek yang dilihat dari pengelolaan
obat lansia dari mulai mendapatkannya, menggunakannya, menyimpan dan membuang
obat yang dikonsumsi oleh lansia (Orwig et
al, 2006). Setelah mengetahui tahap-tahapannya, maka dapat dilihat sehingga
dapat membantu menemukan solusi yang baik dalam mengatasi masalah yang ada.
1.2 Rumusan
Masalah Penelitian
Bagaimana profil pengelolaan obat lansia di Panti Werda Surabaya?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1 Tujuan
Umum
Untuk mengetahui profil pengelolaan obat lansia di Panti Werda yang
berada di wilayah Surabaya.
1.3.2 Tujuan
Khusus
Untuk
mengetahui profil pengelolaan obat pada lansia di Panti Werda di wilayah
Surabaya, yang meliputi :
1. Cara
mendapatkan obat lansia di Panti Werda.
2. Cara
menyimpan obat lansia di Panti Werda.
3. Cara
menggunakan obat untuk lansia di Panti Werda meliputi tepat dosis, tepat
pasien, tepat obat, tepat indikasi, dan tepat aturan pakai.
4. Cara
memperlakukan obat yang sudah tidak terpakai lagi.
1.4 Manfaat
Penelitian
Memberikan
informasi mengenai profil pengelolaan obat lansia khususnya yang berada di
Panti Werda yang akan bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan lansia dengan
memperbaiki cara mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat yang
dikonsumsi lansia.
II. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di panti werdha Surabaya
untuk mengetahui pengelolaan obat lansia, dari mulai mendapatkan, menggunakan,
menyimpan dan membuang obat yang digunakan. Oleh karena itu dibutuhkan data
yang dapat menunjang penelitian ini. Data yang dibutuhkan:
1. Data Panti Werdha Surabaya
baik milik pemerintah maupun swasta (alamat, jumlah lansia, dll.).
2. Standar pengaturan yang
diterapkan Panti Werdha baik secara umum dan khususnya dalam bidang kesehatan.
No comments:
Post a Comment