• tes

    Berbagilah kepada sesama maka engkau akan bahagia

    Wednesday 29 April 2015

    Profil Pengelolaan Obat Lansia di Panti Werdha Surabaya



    PENDAHULUAN

    I. Latar Belakang Penelitian
            Penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025. Menurut survei yang dilakukan, pada tahun yang sama angka harapan hidup diperkirakan mencapai 73,7 tahun, suatu peningkatan yang cukup tinggi dari angka 69,0 tahun pada saat ini. Selain itu, dalam periode 20 tahun yang akan datang, Indonesia diperkirakan dapat menekan angka kelahiran total (Total Fertility Rate – TFR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate IMR) serta meningkatkan proporsi penduduk usia lanjut. Data estimasi menunjukkan bahwa proporsi penduduk lansia (65 tahun ke atas) akan meningkat dari 5,0% saat ini menjadi 8,5% di tahun 2025. (BAPPENAS, 2005). Terjadinya peningkatan lansia ini berdampak pada peningkatan masalah kesehatan, sehingga kebutuhan akan pelayanan kesehatan pun meningkat.
    Penuaan adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya. Penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis yang dapat terlihat dari berubahnya komposisi tubuh pada usia 40 tahun (Harman JR, 1990). Pada lansia, komposisi yang terdapat didalam tubuh berubah sehingga berpengaruh terhadap fungsi dari fisiologis. Perubahan fungsi fisiologis mengakibatkan menurunnya fungsi sistem pencernaan, kardiovaskular, pernapasan, saraf, sistem endokrin, fungsi ginjal, dan lainnya. Selain itu perubahan juga terjadi dalam beberapa proses pada tubuh meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, eskresi, dan respon tubuh terhadap intake obat. Dimana proses tersebut merupakan penurunan dari fungsi patofisiologi dan dapat mempengaruhi farmakokinetika dari suatu obat. Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan (Harman JR, 1990).
    Seiring dengan adanya perubahan fisiologis yang berkaitan dengan usia, muncul peningkatan terjadinya penyakit kronis dan komorbid. Berdasarkan penelitian di Irlandia, dari 86% lansia mengalami 2 atau lebih komorbid. Pada lansia, terapi dengan obat yang didapatkan dalam  jumlah banyak dengan regimen yang beragam. Dari penelitian yang sama, rata-rata pasien lansia hanya menggunakan 30-50% obat yang terdapat pada resep (Stegemann et al, 2010). Oleh karena itu terapi obat pada lansia memberikan tantangan yang lebih dan kompleks dibandingkan dengan usia muda. Sehingga kelompok lansia ini membutuhkan perhatian khusus terkait dengan penggunaan obat.
    Lansia sendiri dibagi menjadi 3 kelompok, “early-old” usia antara 65-74 tahun, “middle-old” usia antara 75-84 tahun and “late-old” <85 tahun (Hajjar et al., 2007). Berdasarkan pada Perda Propinsi Jatim No 5 Tahun 2007 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Terdapat 3 kelompok lansia, yaitu (1). Lansia Potensial; (2).Lansia Tidak Potensial; dan (3).Lansia Terlantar (Perda Propinsi Jatim No 5 Tahun 2007). Lansia terlantar yang perlu diperhatikan secara baik, karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
    Dari survei yang dilakukan di US oleh Kaufman et al, ditemukan bahwa jumlah obat yang diresepkan pada orang dengan usia >65 tahun adalah 2-9, dengan laporan yang menunjukkan bahwa 57% dari wanita 65 tahun dan yang lebih tua mengambil ≥5 resep obat dan 12% mengambil ≥10 obat yang diresepkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah obat yang diresepkan meningkat dengan adanya peningkatan usia (Hajjar et al., 2007).
    Pada lansia, terdapat potensi meningkatnya drug-related problem (DRP) misalnya masalah reaksi efek samping, interaksi obat, ataupun reaksi toksik (Yuda et al, 2014). Drug-related problem dapat ditimbulkan dari beberapa hal, salah satunya adalah ketidakpatuhan. Ketidakpatuhan minum obat telah diidentifikasi oleh World Health Organization (WHO) sebagai masalah global yang berkembang di negara-negara berkembang daripada di negara-negara maju (Stegemann et al, 2010). Faktor yang meningkatkan risiko pasien lansia mengalami DRP adalah perubahan komposisi tubuh, polifarmasi, dan ketidakpatuhan terhadap regimentasi pengobatan Menurunnya kemampuan mendengar, melihat, dan mengingat pada lansia juga berperan dalam terjadinya DRP, terutama pada pasien yang mendapatkan jumlah terapi obat yang banyak dengan regimentasi dosis yang bermacam-macam. Berdasarkan penelitian oleh Medication Appropriatness Index (MAI) pemberian obat dalam jumlah banyak terjadi masalah duplikasi (7%), interaksi (18%), dan tidak tepat indikasi (32%) dari 834 lansia (Hajjar et al., 2007). Keadaan menurunnya kemampuan secara fisik yang dialami lansia dalam penggunaan obat secara benar seperti mudah bingung, gangguan keseimbangan dan gerak, serta menurunnya vitalitas tubuh (Yuda et al, 2014). Ketidakpatuhan dan kepatuhan dipengaruhi oleh interaksi nilai yang diyakini oleh seorang lansia, pengetahuan lansia, dan pengalaman hidup lansia, dukungan keluarga, kemampuan tenaga profesional dalam mengajarkan dan menganjurkan sesuatu, serta kompleksitas cara dan aturan hidup yang diterapkan oleh lansia yang berhubungan dengan konsep diri lansia (Zulfitri, 2011). Ketidak tepatan indikasi obat, kesalahan dalam penyerahan, kesalahan dalam administrasi, kesalahan dalam resep baik dalam penggunaan yang berlebih atau tidak dan penggunaan yang salah dapat berpengaruh pada lansia yang memiliki terapi polifarmasi (Gupta and Monika, 2013).
    Apoteker sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan menyelesaikan masalah DRP pada lansia. Apoteker adalah tenaga profesional yang turut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan terutama dalam hal penyediaan obat-obatan dan penggunaannya. Sesuai dengan prinsip Pharmaceutical care, tanggung jawab tersebut dimaksudkan untuk memastikan penggunaan obat oleh masyarakat tepat indikasi, efektif dan aman. Dengan kompleksnya masalah penggunaan obat pada lansia, berbagai upaya diperlukan untuk dapat menjamin keefektifan dan keamanan penggunaan obat.
    Lansia yang hidup sendiri ditemukan menjadi lebih rentan terhadap kesalahan pengobatan. Dari review penelitian mengungkapkan bahwa hal tersebut diakibatkan tidak adanya orang lain untuk memantau, membantu, atau mengingatkan lansia tersebut mengkonsumsi obat (Marek and Antle, 2008). Gangguan konsep diri yang terjadi pada lansia cenderung akibat penurunan kondisi fisik yang dialaminya dan keterbatasan dukungan sosial khususnya dari pihak keluarga (Zulfitri, 2011). Lansia sulit untuk mengingat obat yang telah digunakan baik yang diresepkan atau swamedikasi, kemungkinan untuk terjadinya obat dengan indikasi yang sama namun berbeda, atau obat yang dapat berinteraksi, sehingga dibutuhkan tenaga kesehatan yang dapat memantau (Marek and Antle, 2008).
    Sistem pelayanan kesehatan yang baik sangat dibutuhkan untuk dapat membantu mengatasi masalah kesehatan yang dialami lansia. Lansia dijamin kesejahteraannya, salah satu aspeknya mengenai pelayanan kesehatan, diharapkan angka usia harapan hidup dan masa produktifnya meningkat. Tempat lansia yang termasuk dalam kategori terlantar adalah di Panti Werda. Lansia yang berada di Panti Werda yang mengalami keluhan atau gejala sakit dapat ditangani oleh tenaga kesehatan baik yang berada disana atau tenaga kesahatan yang dari luar. Hal ini perlu diawasi oleh tenaga kesehatan yang ada, dikahawatirkan lansia mengalami kesalahan yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, misalnya adalah kesalahan dalam resep yaitu kurangnya informasi, obat yang tidak perlu, kesalahan dosis, kelalaian. Ketika proses pemberian obat pun dapat terjadi kesalahan yang diakibatkan kelalaian dari tenaga kesehatan. Kekeliruan dalam pemberian etiket pun dapat dilakukan sehingga menyebabkan ketidak sesuaian, berakibat pada kesalahan dalam penggunaan obat (Barber et al, 2009).
    Penelitian ini dilakukan di Panti Werda yang berada di Surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat profil pengelolaan obat lansia di Panti Werda yang masih belum ada penelitian terkait hal tersebut di Indonesia. Pentingnya pengelolaan obat agar lansia yang mengkonsumsi obat dapat memperoleh manfaat dari obat yang digunakan. Aspek yang dilihat dari pengelolaan obat lansia dari mulai mendapatkannya, menggunakannya, menyimpan dan membuang obat yang dikonsumsi oleh lansia (Orwig et al, 2006). Setelah mengetahui tahap-tahapannya, maka dapat dilihat sehingga dapat membantu menemukan solusi yang baik dalam mengatasi masalah yang ada.
    1.2   Rumusan Masalah Penelitian
    Bagaimana profil pengelolaan obat lansia di Panti Werda Surabaya?

    1.3       Tujuan Penelitian
    1.3.1    Tujuan Umum
    Untuk mengetahui profil pengelolaan obat lansia di Panti Werda yang berada di wilayah Surabaya.
    1.3.2    Tujuan Khusus
    Untuk mengetahui profil pengelolaan obat pada lansia di Panti Werda di wilayah Surabaya, yang meliputi :
    1.      Cara mendapatkan obat lansia di Panti Werda.
    2.      Cara menyimpan obat lansia di Panti Werda.
    3.      Cara menggunakan obat untuk lansia di Panti Werda meliputi tepat dosis, tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, dan tepat aturan pakai.
    4.      Cara memperlakukan obat yang sudah tidak terpakai lagi.

    1.4       Manfaat Penelitian
    Memberikan informasi mengenai profil pengelolaan obat lansia khususnya yang berada di Panti Werda yang akan bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan lansia dengan memperbaiki cara mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat yang dikonsumsi lansia.

    II. Metode Penelitian
    Penelitian ini dilakukan di panti werdha Surabaya untuk mengetahui pengelolaan obat lansia, dari mulai mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat yang digunakan. Oleh karena itu dibutuhkan data yang dapat menunjang penelitian ini. Data yang dibutuhkan:
    1.   Data Panti Werdha Surabaya baik milik pemerintah maupun swasta (alamat, jumlah lansia, dll.).
    2.   Standar pengaturan yang diterapkan Panti Werdha baik secara umum dan khususnya dalam bidang kesehatan.

    No comments:

    Fans Page