ISLAM DAN PANCASILA BEDA,
TAPI TIDAK ADA BENTURAN
Kendati sebutan Pancasila nyaris
tenggelam di tengah bingar-bingar euphoria reformasi, namun masalah hubungan
antara islam dan Pancasila rupanya tetap menjadi perhatian banyak kalangan.
Munculnya beragam Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa syariat islam di
beberapa daerah di era reformasi sedikit banyak kembali memancing perdebatan
lama mengenai hubungan antara islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara
negara dan agama.
Bagi sebagian
kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia,
polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan ini dilakoni
para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas
bersama. Asumsi mendasari perbedaan mereka, bagaimana caranya menjalankan
negara-bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.
Menurut KH.
Ma’ruf Amin salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia, Pancasila sebagai daar
negara, dan islam adalah suatu agama, keduanya jelas berbeda. Namun demikian
kedua unsur itu dapat saling mengisi, dan tidak ada benturan satu sama lain.
Pancasila memang bukan sebuah agama, karena ia merupakan kumpulan nilai-nilai (values)
dan visi (vision) yang hendak dituju oleh bangsa ini sejak kemerdekaan
Republik Indonesia.
Meski begitu,
bukan berarti Pancasila anti-agama, atau agama tidak mendapat ruang bagi
Pancasila. Sejak disepakati, Pancasila menjamin setiap orang untuk menjalankan
syariat agamanya sesuai kepercayaan masing-masing. “Bagi Islam, kita memberi ruang
untuk berdampingan dengan non Islam. Juga sebutan negara pancasila berarti
tidak ada pertentangan. Namun demikian masih ada distorsi pemahaman,” ujarnya.
Dijelaskannya,
ada satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidupan yang
dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme, yang dibangun berdasarkan
ideologi materialisme dan anti-agama, dan karenanya bertentangan dengan
Pancasila, justru diagungkan. Begitu juga dengan kapitalisme yang dibangun
berdasarkan sekularisme dan setengah anti-agama, serta nyata-nyata melahirkan
ketidakadilan global.
Karena itu,
visi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama menunjukkan bahwa nilai-nilai
“Ketuhanan” tidak bisa begitu saja disingkirkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ironisnya, kata Ma’ruf Amin, mereka yang menginginkan tidak ada satu
agamapun yang boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila
sebagai upaya untuk selalu membenturkan Islam dengan Pancasila.
Anggota Dewan
Pertimbangan Presiden (Watimpres) ini menyebut cara berpikir orang selalu
membenturkan nilai-nilai agama dengan pancasila sebagai orang yang picik dan
tidak jujur dalam melihat fakta yang terjadi. Demokrasi yang mereka
agung-agungkan mengajarkan vox populivox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika
rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa
harus menolak.
KH. Ma’ruf Amin
yang juga tokoh Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa Islam adalah Agama yang
mengajarkan kedamaian dan mendorong umatnya berinteraksi dengan cara yang santun,
baik dengan sesama umat islam maupun umat lainnya. Islam juga memberikan
toleransi bagi keberadaan pemeluk keyakinan lain yang berada di sekitar umat
islam. Nabi Muhammad telah memberikan contoh yang sangat baik ketika
menyampaikan Islam dan melakukan interaksi dengan orang-orang di luar islam.
Selama
perjalanan dakwahnya, jelas Ma’ruf, baik di Makkah maupun Madinah, Muhammad
selalu menyampaikan Islam dengan cara yang sangat lembut. Islam diserukan
dengan hikmah agar seluruh pihak mau menerima Islam dan memeluknya sebagai
keyakinan. Bahkan Muhammad menyerukan, ajaklah manusia ke dalam Islam dengan
cara-cara yang baik. Ketika Islam mencapai kejayaan dan menguasai pemerintahan
dunia, umat Islam juga menyajikan kesejukan bagi umat lainnya. Meski berkuasa
dan menjadi mayoritas, umat minoritas tetap diperlakukan dengan baik.
Mereka yang
beragama selain islam, ungkap Ma’ruf, tetap dijamin kebebasan beragamanya.
Mereka juga tak mendapatkan halangan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa umat Islam begitu mengedepankan
ajaran yang sejuk dan lembut. Menurut Ma’ruf, tak ada kekerasan yanhg disajikan
oleh umat Islam dalam berinteraksi dengan umat lainnya.
Sesama umat Islam saling menghormati
dan menyayangi, demikian pula dengan umat pemeluk agama lain. Kekerasan memang
boleh dilakukan, namun ketika umat Islam mendapatkan ancaman. Yaitu ketika
pihak lain melakukan tekanan dan penyerangan, dan tak ada jalan lain yang dapat
ditempuh maka kekerasan menjadi sebuah pilihan. “Tapi kelembutan dan dialog
tetap menjadi pilihan utama bagi umat Islam dalam menjalankan interaksinya,”
tegas kiai kelahiran 11 Maret 1943 ini.
Ia menambahkan,
kini Islam kerap dicitrakan jelek karena dianggap tak menyajikan kesejukan dan
kelembutan. Menurutnya, pencitraan yang dilakukan pihak lain itu tak tepat.
Pasalnya, ia yakin selama ini umat Islam selalu mengedepankan kelembutan dan
sangat toleran kepada umat lain. Ma’ruf juga berharapkan umat Islam senantiasa
mengedepankan sikap lemah lembut. Dengan demikian orang tak lari dari Islam dan citra jelak
itu akan pupus denga sendirinya.
Islam yang mengajarkan umatnya untuk
berlaku lembut serta mengajak kepada kebaikan harus pula ditempuh dengan cara
yang bijak. Umat Islam didorong untuk menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran dengan cara-cara yang Ma’ruf juga. Hal ini meniscayakan adanya
pemahaman yang jernih terhadap Islam sehingga kaum Muslimin tidak salah langkah
baik dalam amar makruf nahi munkar.
Menganggapi faham pluralisme yang
disebarkan sementara orang, kiai Ma’ruf menyatakan pluralis itu dilarang,
karena menyamakan semua agama benar, dan itu menjadi tidak benar, sehingga
nantinya akan ada Theology pluralitas. Yaitu mencampurkan agam menjadi satu
ajaran secara oplos.
“Kalau berdampingan sesama umat
beragama itu menjadi damai, maka itu suatu keharusan, tapi kita tidak
mentolerir penodaan agama,” ujarnya.
Terkait dengan toleransi umat
beragama di Indonesia, menurut Ma’ruf cukup kondusif. Hanya saja masih ada
faktor non agama yang mencoba mengarahkan menjadi konflik agama padahal itu
adalah konflik sosial, politik lalu menarik agama menjadi alat menuju konflik,
seperti di Poso dan Ambon.
Masalah hubungan antara Islam dan
Pancasila, Ma’ruf menilai masalah itu memiliki arti yang penting, dan bagaimana
pemahaman kepada semua lapisan. Jadi perlu sosialisasi khususnya kepada
generasi muda supaya paham.
No comments:
Post a Comment