• tes

    Berbagilah kepada sesama maka engkau akan bahagia

    Monday 5 November 2012

    Makalah Aliran Asy'ariyah


    ASY’ARIYAH
    1.        Latar belakang munculnya al asy’ariyah
    Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, ayahnya adalah seorang ahli hadist yang menganut paham ahli sunah wal jama’ah.seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.[1]
    Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
    Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
    Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Ada beberapa pendapat yang melatarbelakangi keluarnya al asy’ari dari golongan Mu’tazilah antara lain :
    ·         Ibn Asakir mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.[2]
    ·         Sebab lain keluarnya al-asy’ari meninggalkan kelompok mu’tazilah perdebatan dengan gurunya al-jubba’i dan dalam perdebatan itu gurunya tak mampu menjawab peranyaan al-asya’ari.[3]
    Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
    Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
    2.        Doktrin-doktrin Al-Asy’ariyah
    1. Tentang sifat Tuhan
    Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah mempunyai sifat-sifat,dan sifat-sifat allah bukan Dzat-Nya bukan pula lain dari Dzat-Nya.Dengan demikian pengertian sifat bukan lain dari Dzat adalah bahwa dalam keadaan apapun juga sifat-sifat itu tidak boleh bepisah dari Dzat ,maka tidak saja yang qodim ,tetpi juga sifat-sifat-Nya.Pernyataan yang seperti itu  menurut al-asy’ari tidak menjadi syirik atau bertentangan dengan pengertian ke-Esaan allah(tauhid), sebagaimana yang dituduhkan mu’tazilah dengan ’’ta’adud al-qudama’Nya”,karena sifat-sifat itu tidak berwujud sendiri diluar Dzat,akan tetapi selalu melekat pada Dzat.[4]
    2. Tentang Perbuatan Manusia
    Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujudukan oleh manusia itu sendiri.
    Abu hasan al asy’ari menyebut bahwa peerbuatan manusia dengan kasb. Istilah ini kemudian menjadi inti dari pemikiran teologis yang ia gagas. Ulama klasik terkemuka ini mendasarkan pemikirannya pada beberapa ayat al-qur’an.[5]
    ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
    “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
    Kata as sya’ari kita tidak mungkin atau tidak mungkin mengusahakan(naktasib sesuatu, kecuali setelah allah menjadikannya kasb bagi kita.
    3. Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk
    Walaupun al asy’ari dan orang-orang mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al asy’ari mengutamakan wahyu,sementara mu’tazilah mengutamakan akal.
    Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat antara mereka. Al-Asyari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,sedangkan mu’tazilah berdasarkan pada akal.
    4. Tentang qodimnya Al-Quran
    Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.Al-asyari mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata,huruf dan bunyai,semua itu tidak melekat pada esensi allah dan karenanya tidak qodim.Nasution mengatakan bahwa al qur’an bagi al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau diciptakan sesuai dengan ayat:
    $yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù
    Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.(Q.S. An Nahl: 40)
    5. Tentang keadilan Tuhan
    Pada dasarnya al-asy’ari dan mu’tazilah sependapat dengan mu’tazilah bahwa allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengharuskan berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak mempunyai keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlak.
    6. Tentang Pelaku Dosa Besar
    Berbeda dengan Mu`tazilah yang mengatakan bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar  itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.Asy’ari tidak mengkafirkan orang-orang yang bersujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar,seperti berzina dan mencuri. Menurutnya ia masih tetap sebagai orang yang beriman dengan ke imanan yang mereka miliki,sekalipun berbuat dosa besar.akan tetapi jika dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini dihalalkan dan tidakmeyakini keharamanya,ia dipandangtelah kafir.[6]
    7. Tetang Melihat Allah
    Al Asy’ari tidak sepakat dengan pendapat kelompokortodoks ekstrim,terutama zahiriyah,yang menyatakan bahwa allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa allah bersemayam di Arsy.Selain itu ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah di akhirat. Al Asy’ari yakin bahwa allah dapat dilihat di akhirat namun tidak dapat digambarkan.Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[7]
    Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
    1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
    2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
    3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
    4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
    5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.[8]
    Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah.
    Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
    •Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
    •Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
    •Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
    •Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
    •Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
    Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah.



    [1] TIM PENYUSUN MKD IAIN SA,Ilmu Kalam,SAP,Surabaya: 99
    [2] TIM PENYUSUN MKD IAIN SA,Ilmu Kalam,SAP,Surabaya: 22
    [3] Harun nasution,Teologi Islam,UI-RESS,jakarta,1986.halaman 65-66
    [4] TIM PENYUSUN MKD IAIN SA,Ilmu Kalam,SAP,Surabaya: 108
    [5] Nukman abbas,asy’ari(874-935) misteri perbuatan manusia dan takdir tuhan,2006:jakarta
    [6] Harun nasution,Teologi Islam,UI-RESS,jakarta,1986.halaman 137
    [7] Ibid 123
    [8] ibid.halaman 73


    No comments:

    Fans Page