ASY’ARIYAH
1.
Latar belakang munculnya
al asy’ariyah
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy.
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim
bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa
Al-Asy’ari, ayahnya adalah seorang ahli hadist yang menganut paham ahli sunah
wal jama’ah.seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan
pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.[1]
Abul Hasan Al-Asya’ari
dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad
pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih
madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari
Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal,
ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar
Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam
sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula
berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Ada beberapa
pendapat yang melatarbelakangi keluarnya al asy’ari dari golongan Mu’tazilah
antara lain :
·
Ibn Asakir mengatakan
bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau
berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat
dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang
pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari
yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan.
Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama
15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi
pada tahun 300 H.[2]
·
Sebab lain keluarnya
al-asy’ari meninggalkan kelompok mu’tazilah perdebatan dengan gurunya
al-jubba’i dan dalam perdebatan itu gurunya tak mampu menjawab peranyaan
al-asya’ari.[3]
Mazhab ahlu sunnah wal
jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi
barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli
Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah
ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak
menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka
mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa
yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian
dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan
Madzhab Salaf.
2.
Doktrin-doktrin
Al-Asy’ariyah
1. Tentang sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat
bahwa allah mempunyai sifat-sifat,dan sifat-sifat allah bukan Dzat-Nya bukan
pula lain dari Dzat-Nya.Dengan demikian pengertian sifat bukan lain dari Dzat
adalah bahwa dalam keadaan apapun juga sifat-sifat itu tidak boleh bepisah dari
Dzat ,maka tidak saja yang qodim ,tetpi juga sifat-sifat-Nya.Pernyataan yang
seperti itu menurut al-asy’ari tidak
menjadi syirik atau bertentangan dengan pengertian ke-Esaan allah(tauhid),
sebagaimana yang dituduhkan mu’tazilah dengan ’’ta’adud al-qudama’Nya”,karena
sifat-sifat itu tidak berwujud sendiri diluar Dzat,akan tetapi selalu melekat
pada Dzat.[4]
2. Tentang Perbuatan
Manusia
Pandangan Asy`ariyah
berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia
itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini,
Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa
semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujudukan oleh manusia itu
sendiri.
Abu hasan al asy’ari
menyebut bahwa peerbuatan manusia dengan kasb. Istilah ini kemudian
menjadi inti dari pemikiran teologis yang ia gagas. Ulama klasik terkemuka ini
mendasarkan pemikirannya pada beberapa ayat al-qur’an.[5]
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
Kata
as sya’ari kita tidak mungkin atau tidak mungkin mengusahakan(naktasib sesuatu,
kecuali setelah allah menjadikannya kasb bagi kita.
3. Akal dan
wahyu dan criteria baik dan buruk
Walaupun al
asy’ari dan orang-orang mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu mereka
berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari
akal dan wahyu. Al asy’ari mengutamakan wahyu,sementara mu’tazilah mengutamakan
akal.
Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat antara mereka.
Al-Asyari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada
wahyu,sedangkan mu’tazilah berdasarkan pada akal.
4. Tentang qodimnya
Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama
dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu
adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang
berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.Al-asyari mengatakan bahwa walaupun
al-Quran terdiri atas kata-kata,huruf dan bunyai,semua itu tidak melekat pada
esensi allah dan karenanya tidak qodim.Nasution mengatakan bahwa al qur’an bagi
al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau diciptakan sesuai dengan ayat:
$yJ¯RÎ)
$uZä9öqs%
>äóÓy´Ï9
!#sÎ)
çm»tR÷ur&
br&
tAqà)¯R
¼çms9
`ä.
ãbqä3usù
Sesungguhnya
Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.(Q.S. An Nahl:
40)
5. Tentang keadilan Tuhan
Pada dasarnya al-asy’ari
dan mu’tazilah sependapat dengan mu’tazilah bahwa allah itu adil. Mereka hanya
berbeda dalam memandang makna keadilan. Al Asy’ari tidak sependapat dengan
mu’tazilah yang mengharuskan berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang
salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak
mempunyai keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlak.
6. Tentang Pelaku Dosa
Besar
Berbeda dengan Mu`tazilah
yang mengatakan bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar itu berada pada tempat diantara dua tempat
“Manzilatun baina manzilatain”.Asy’ari tidak mengkafirkan orang-orang yang
bersujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar,seperti berzina dan
mencuri. Menurutnya ia masih tetap sebagai orang yang beriman dengan ke imanan
yang mereka miliki,sekalipun berbuat dosa besar.akan tetapi jika dosa besar itu
dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini dihalalkan dan tidakmeyakini
keharamanya,ia dipandangtelah kafir.[6]
7. Tetang Melihat Allah
Al Asy’ari tidak sepakat
dengan pendapat kelompokortodoks ekstrim,terutama zahiriyah,yang menyatakan
bahwa allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa allah bersemayam di
Arsy.Selain itu ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari
ru’yatullah di akhirat. Al Asy’ari yakin bahwa allah dapat dilihat di akhirat
namun tidak dapat digambarkan.Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[7]
Pengikut Asy’ari yang
terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah
wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali
pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar
zat.
2. Al-Qur’an bersifat
qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan
manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat
karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,tidak wajib
memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.[8]
Berkat Al-Ghazali paham
Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada
masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat
Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para
Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah.
Di antara para ulama besar
dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/
1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi
(544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini
(w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar
Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi
(293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling
dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah.
[2] TIM PENYUSUN MKD IAIN SA,Ilmu
Kalam,SAP,Surabaya: 22
[3] Harun nasution,Teologi
Islam,UI-RESS,jakarta,1986.halaman 65-66
[4] TIM PENYUSUN MKD IAIN SA,Ilmu
Kalam,SAP,Surabaya: 108
[5] Nukman abbas,asy’ari(874-935) misteri
perbuatan manusia dan takdir tuhan,2006:jakarta
[6] Harun nasution,Teologi
Islam,UI-RESS,jakarta,1986.halaman 137
[7] Ibid 123
[8] ibid.halaman 73
No comments:
Post a Comment